Sore ini Mitha duduk diam di depan kamar kosnya sambil
cemberut melihat derasnya hujan. Ia kesal karena hujan menghalanginya untuk
ikut ibadah pemuda pertamanya di gereja. Mitha belum sempat membeli jas hujan
saat baru pindah ke Bali untuk kuliah. Ditambah lagi Ia belum mengenal banyak
orang di Bali, salah satunya Tian, pemuda gereja yang dikenalnya saat mengikuti
festival pemuda Kristen Bali-NTB saat Mitha masih SMA di Lombok dulu.
“Kak Tian, gimana nih? Hujannya deres banget. Tapi aku
pengen ikut ibadah,” rengeknya saat menelpon Tian.
“Waduh, gimana ya. Mobil kakak lagi dipake Axel buat
belanja konsumsi nih. Oh! Kamu dijemput Axel aja ya? Ok?,” jawab suara di ujung
sana.
“Axel itu siapa kak? Aku ga kenal,” ujar Mitha.
“Dia juga pemuda gereja. Tenang aja. Kakak hubungin Dia
dulu ya, entar kakak kasitau lagi. Daah,” lalu telepon terputus.
Mitha semakin cemberut. Kali ini hujan terkutuk baginya.
Padahal biasanya Ia suka hujan. Aroma air dan tanah yang bercampur membuatnya
merasa nyaman. Namun tidak pada sore ini. Mitha malah gelisah tak karuan. Tak
lama, BBM dari Tian masuk,
“Axel uda otw. Tunggu depan kos ya, dik. Mobilnya karimun
merah”
Gadis berambut panjang bergelombang itu hanya menjawab
iya, kemudian berjalan ke depan pagar menggunakan payung. Ia berdiri di antara
hujan dan kembali tersenyum.
Tak lama, mobil karimun
merah berhenti di depannya. Seseorang yang bernama Axel itu membukakan pintu
depan dari dalam. Mitha masuk dan tersenyum kaku. “Gila, cakep bener ni orang,”
pikirnya.
“Mitha?,” panggil Axel
dengan nada datar. Mitha menoleh.
“Uda berapa lama tinggal
di Bali?,” tanyanya.
“Baru sekitar dua minggu,”
jawab Mitha malu-malu.
“Ohh,” balas Axel gantung.
Lalu mereka terdiam. Jantung Mitha berdebar-debar, sedangkan Axel memfokuskan
pikiran dan matanya ke depan, sedikit gugup karena hanya berdua dengan seorang
gadis yang belum dikenalnya dalam mobil.
Sesampainya di gereja,
mereka turun dari mobil dan berjalan bersama di bawah satu payung yang dibawa
Mitha dari kos tadi.
“Thanks, maaf merepotkan,”
ujar Mitha sambil berjalan.
“Iya, lain kali jangan
ulangi,” jawab Axel dingin. Hati Mitha seperti ditusuk jarum berkali-kali.
Mitha masih terdiam memikirkan
kata-kata Axel hingga ibadah dimulai. Hanya berbincang sesekali saat diajak
bicara dengan Tian yang duduk di sebelahnya.
“Rekan-rekan, kita
kedatangan teman baru dari Lombok. Hey, ayo maju, kenalin diri,” ucap cewek
yang memimpin di depan saat ibadah selesai. Mitha maju dengan malu-malu.
“Malem, temen-temen. Aku
Nona Melody Paramitha, biasa dipanggil Mitha. Di sini aku kuliah psikologi di
UNUD, tinggal di kos edelways. Thanks,” oceh MItha sambil terus menebar senyum
sampai matanya terhenti pada sosok Axel dan cewek di sebelahnya yang sedang
berbincang dengan serunya.
Senyumnya berhenti
sejenak, namun Mitha kembali tersenyum saat banyak pertanyaan yang dilontarkan
anak-anak pemuda baik yang serius maupun hanya godaan.
“Tempat tanggal lahir
donk, biar bisa masuk di file pemuda,” pinta salah satu gadis yang duduk di
ujung depan.
“30 September 1995,” jawab
Mitha.
Selesai perkenalan diri,
para pemuda menyambutnya dengan berjabat tangan. Satu persatu menyalami Mitha dengan wajah gembira.
Tak diduga, Axel dan cewek tadi menyalaminya juga. Mitha spontan tersenyum
kaku.
“Sofi, UNUD juga, semester
3, Management,” ujar cewek yang bersama Axel saat menyalami Mitha. Mitha hanya
membalasnya dengan senyuman.
“Axel,” ucap Axel di
tambah senyumnya dengan lesung dikedua pipinya.
Mitha merasa ada yang
aneh, Ia tahu dan sadar tentang itu. Namun Mitha mengelak dan berpikir kalau
itu hanya muncul karena Axel memang cowok ganteng dengan lesung pipi. Tak
mungkin hanya Mitha yang merasakannya.
…
“Halo, Mitha? Ikut yuk!,”
Tian menelpon Mitha.
“Kemana kak? Lagi males
nih,” jawab Mitha ogah-ogahan.
“Ke GWK. Mumpung gak ujan.
Lagi bentar kita jemput ya, dik. Siap-siap yang cepet. Bye!,” celoteh Tian lalu
menutup telepon seenaknya.
Mitha membuka lemari
dengan malas. Mengganti bajunya dengan kaos putih lengan panjang dan celana
selutut. Mitha tak bersemangat, kecuali ada…
Axel. “Kira-kita anak itu
ikut gak ya?,” bathin Mitha sambil memasukkan empat barang yang penting
menurutnya, yaitu dompet, handphone, topi, dan kacamata. Setelah itu Ia
menunggu di kamar.
“Mitha.. Mitha..,” panggil
seseorang dari luar kamar Mitha.
“Axel! Terima kasih
Tuhan!,” girang Mitha. Ia kenal suara cempreng yang khas milik Axel. Sudah
sebulan ini, Mitha dan orang-orang gereja memang semakin dekat. Menurut Mitha,
Axel adalah cowok cakep nan angkuh, tapi juga konyol.
Mitha keluar kamar dengan
buru-buru dan tidak hati-hati sehingga tersandung dan hampir terjatuh, namun
Axel dengan sigap menangkap Mitha. Untuk beberapa detik, Mitha berada dalam
pelukan Axel.
Tersadar, mereka salah
tingkah dan berjalan keluar kos tanpa suara. Wajah mereka pun sama-sama berubah
merah. Mitha senyum-senyum sendiri, dan Axel masih gelisah tak karuan.
…
Sedang asyik-asyiknya
bermain kejar-kejaran di antara bongkahan batu besar di GWK, tiba-tiba langit
mendung. Padalah hampir setengah hari ini cuaca cerah-cerah saja.
Mitha melihat ke langit.
Lalu air entah darimana menetes di matanya. Ia langsung menunduk dan mengucek
matanya. Leon dan Axel yang tak jauh dari Mitha langsung mendekat.
“Kelilipan?,” tanya Leon.
Mitha menggeleng.
“Cuma ketetesan air aja
kok,” jawab Mitha sambil mengedip-kedipkan matanya.
“Tetesan air?,” tanya Axel
lalu saling tatap denga Leon. Sepertinya pikiran mereka sama, “Akan turun
hujan”
Benar saja. Tiba-tiba
hujan dengan derasnya mengguyur GWK. Leon sudah menghilang entah kemana dengan
yang lain, sedangkan Axel dengan Mitha masih mencari tempat untuk berteduh.
Axel melihat satu pohon kosong.
“Ayo kita ke sana aja,
dik,” ajaknya sambil menggandeng tangan Mitha. Mereka berlari menuju pohon yang
lumayan jauh dari tempat mereka.
Axel melihat Mitha basah
kuyup. Bajunya yang berwarna putih mulai tembus pandang. Ia tak suka
melihatnya, jadi Ia lepaskan kemejanya dan memakaikannya pada Mitha.
“Bajumu tipis. Entar kakak
dosa hehehe,” goda Axel.
“Ih apaan sih kakak. Jadi
takut hahaha,” ujar Mitha.
“Engga apa-apa. Kamu aman
sama kakak, dik,” jawab Axel sambil mengacak rambut Mitha. Mitha jadi tersipu
malu.
“Lho, kak Sofi mana? Kok
ga keliatan?,” tanya Mitha.
Axel terdiam.
“Biarin aja Dia. Dia udah
aman kok,” jawab Axel.
Giliran Mitha yang
bungkam. Menyesal bertanya hal itu.
“Coba deh kamu liat itu.
Siapa yang gak kesel? Dari tadi pagi malah. Seru banget,” celoteh Axel sambil
menunjuk ke arah kafe yang di dalamnya ada Sofi dan Tian.
“Mereka Cuma temenan kak,”
jawab Mitha.
“Temen ya ada batasnya
juga kan,” balas Axel lagi.
Rasanya Mitha ingin
menangis saja. Axel berkata demikian, apa Dia juga tak sadar kalau posisinya
sekarang juga sama seperti Sofi? Mitha merasa Dia juga pengkhianat.
“Apa bedanya Kak Sofi sama
Kak Axel? Sama aja kan situasinya sekarang,” ujar Mitha lirih.
“Dia sih yang mulai.
Jangan samain sama kakak lah. Kakak Cuma bales apa yang Dia lakuin aja,” jawab
Axel.
Hati Mitha semakin nyeri,
“Berarti aku Cuma jadi objek figuran aja kan?”
Axel tersentak. Sadar
kalau Ia sudah salah bicara pada bocah ini. Ia merasa bersalah dan tak tahu
harus bicara apa.
“Bukannya gitu, dik,”
jawab Axel agak bingung.
“Trus apa? Kakak tadi
bilang mau bales kan? Aku baru di sini kak, aku gak mau cari masalah, apalagi
sama orang gereja, aku…..,” ucapan Mitha terhenti karena Axel sudah
mendekapnya. Mitha tak sanggup menahan emosinya. Hatinya yang keras seakan-akan
mampu diluluhkan oleh Axel dan mencair berwujud air mata. Ia sakit karena Axel
hanya menganggapnya pelarian, bukan cewek yang menyukainya. Mitha tahu ini
terlalu cepat, tapi ini juga berlebihan! Ia tak mampu memungkiri lagi kalau Ia
benar-benar menyukai Axel.
Axel kehabisan kata-kata
untuk meminta maaf, sehingga satu-satunya cara hanyalah memeluk gadis polos
ini.
…
Jam menunjukkan pukul dua
siang. Waktunya pulang kuliah untuk mahasiswa UNUD. Mitha berjalan keluar
kampus. Ia tak perlu menggunakan motornya karena kosnya berada di dekat sana.
Sebuah mobil berhenti di
sebelahnya. Kaca mobil turun dan nampak Axel dengan senyumnya. Seketika senyum
Mitha mengembang.
“Hai, Nona. Mau bareng?,”
sapanya.
“Kosku kan deket dari
sini, kak,” jawab Mitha.
“Maksudnya barengan makan
siang. Temenin kakak ya,” ajak Axel. Mitha mengangguk lalu membuka pintu
belakang mobil.
“Eh, kenapa di belakang?
Entar kakak dikirain supir. Duduk didepan dik,” ujar Axel.
Mereka menuju rumah makan
di sekitar sana. Di sana mereka membicarakan banyak hal dan terkadang
kekonyolan Axel memecahkan tawa keduanya.
“Kakak tadi dari mana?,”
tanya Mitha.
“Dari rumah. Cuma lagi
pusing aja makanya keluar. Di jalan ternyata ketemu kamu,” jawabnya.
“Pusing kenapa kak?,”
“Lagi berantem sama Sofi,”
“Again?,”
Axel hanya mengangguk.
Suasana menggantung sejenak, lalu Axel kembali tersenyum.
“Udah, gak apa-apa.
Santai, kita kan mau makan, bukan curhat hahaha,” jawab Axel.
Mitha juga ikut tersenyum.
Bodohnya Kak Sofi menyia-nyiakan keberuntungan yang Ia dapat, Mitha membathin.
…
Handphone Mitha berdering.
Padahal hari sudah kelewat larut sekali. Mitha menggerutu. Ia meraba-raba meja
di sebelah kasurnya dan menekan tombol.
“Halo?,” sapanya berat.
“Selamat ulang tahun, Axel
ucapkan. Selamat panjang umur, Tuhan kan berkati. Selamat ulang tahun ya, dik,”
terdengar suara di ujung sana bernyanyi dengan nada tak karuan.
“Makasi, kak,” jawab Mitha
yang langsung duduk dan tanpa diminta, air matanya sudah menetes.
“Sama-sama dik. Kadonya
nyusul ya,”
“Gak usah kado-kadoan,
kak. Uda gede. Malu,” jawab Mitha.
Tawa renyah Axel
terdengar. Mitha tak menduga kalau Axel ingat hari ulang tahunnya padahal Mitha
hanya mengucapkannya sekali pada orang-orang gereja.
Saat telepon ditutup,
seseorang mengetuk pintu kamar Mitha. Apa Axel? Harapnya. Mitha membuka
pintunya.
“Happy birthday to you,
happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday Mitha,”
Tian dan Sofi muncul di
depan pintu dengan kue tart serta lilin yang menyala. Mitha tersenyum walaupun
sebenarnya Ia heran. Baru saja pacarnya menghubungi Mitha dan kini Sofi malah
bersama orang lain. Tapi Mitha buang jauh-jauh rasa ingin tahunya akan hubungan
Axel dan Sofi.
Mitha menutup matanya
untuk make a wish lalu meniup lilin. Tian memeluk dan mengecup kening Mitha,
“Tuhan berkati, adikku”
Sofi agak terkejut dengan
perlakuan Tian terhadap Mitha. Ia sangat kenal dengan sahabatnya satu ini. Sofi
hanya tersenyum simpul.
“Maaf ya gak ada apa-apa.
Masih tengah malem soalnya. Besok aja jalan-jalan sama makan-makannya. Kita ke
pantai ya,” celoteh Mitha.
“Karena ini hari spesial
Nona Melody Paramitha, oke kita pergi deh. Besok kan hari Minggu. Kita perginya
pas puulang gereja ta,” jawab Sofi. Mitha langsung memeluk Sofi.
“Makasi kak. Besok ajakin
anak-anak lain ya,” ujar Mitha.
Tian dan Sofi mengacungkan
jempol. Tak lama, mereka pamit pulang. Ternyata mereka sudah kongkalikong dengan
ibu kos Mitha untuk bertamu malam-malam.
Tian puas, merasa
rencananya untuk menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pada Mitha
berhasil. Sepanjang perjalanan Ia tersenyum bangga. Kalau saja Ia tahu, kalau
bukanlah Dia yang pertama.
…
“Udah lengkap semuanya
nih?,” tanya Sofi. Beberapa pemuda-pemudi yang dekat dengan MItha ikut pergi ke
pantai Kuta.
“Oke, peraturannya, gak
ada cewek yang bawa motor. Kebetulan Axel sama Tian lagi gak bawa mobil, jadi
entar naik motor. Nana sama Benny, Rasti sama Ucup, Winda sama Edi, Mitha sama
Tian, Aku sama Axel. Ayo kita berangkat,” ucap Sofi panjang. Sebenarnya Sofi
sengaja meminta Axel dan Tian tak memakai mobilnya supaya Tian dan Mitha bisa
berdua.
Ada rasa sakit yang
mengganjal di benak Mitha. Namun Mitha segera menarik nafas panjang. Ia harus
ingat kalau Ia bukan siapa-siapa.
Di perjalanan, mereka semua
bercanda. Tian sedikit gugup, sedangkan Mitha sering mencuri pandang ke arah
Axel dan Sofi. Mereka berdua tampak serasi. Wajah dewasa Sofi seolah-olah menutupi
wajah nakal Axel.
Hari ini memang hoki
mereka. Pantai Kuta tidak seramai biasanya sehingga mereka bisa leluasa
bermain. Mitha diangkat Ucup dan diceburkan ke pantai. Mereka juga bermain
beberapa permainan. Tawa kawan-kawannya membuat Mitha melupakan galaunya.
Saat sore menjelang,
anak-anak lain sibuk membakar ikan. Mitha sedang asyik duduk di pinggir pantai.
Hari ini Axel sama sekali tak menghiraukannya. Mungkin keasyikan pacaran dengan
Sofi. Mitha tak berhak marah. Ia hanya melihat dari kejauhan saja.
“Ngapain sendirian,
Nona?,” Tian membuyarkan lamunan Mitha.
“Gak kenapa-napa. Cuma
agak capek aja. Aku gak dikasi bantu bakar ikan juga,” jawab Mitha.
“Iyalah. Masa yang ulang
tahun yang repot haha,” balas Tian. Mitha hanya tersenyum.
Jantung Tian
berdebar-debar, “Btw, udah tiga bulan di Bali, kamu gak naksir siapa kek gitu
di sini?,”
Pertanyaan Tian memeras
hati Mitha. Ia tersenyum simpul, “Belom mikir ke sana kak. Masih adaptasi
soalnya. Hafal jalan di Denpasar aja belom bisa, gimana mau mikirin
naksir-naksiran?,”
Tawa Tian pecah. Ia
berpikir betapa polosnya Mitha ini. Bahkan Mitha tak sadar kalau Tian naksir
Mitha seiring berjalannya waktu.
“Iya sih, semua perlu
proses. Kakak juga udah lewatin proses itu lho,”
Mitha menoleh, ”Proses
kayak apa ni kak?,”
“Ya proses naksir-naksiran
hahaha. Kamu tau gak kalau kakak tu sayang…..,”
“Happy birthday Mitha!,”
Benny menyiram Mitha dengan air dicampur tepung dan telur. Tian dan Mitha
sangat terkejut. Suasana kembali ramai karena mereka saling kejar-kejaran
dengan Mitha. Mitha yang sudah kotor dan bau pasti memeluk siapapun yang berada
di dekatnya.
Tian bersandar di pohon
kelapa. Bukan waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Awalnya Ia tak
tahu kalau Ia akan menyayangi gadis itu. Namun yang ada, Tian hanya selalu
ingin menjaga Mitha.
Mitha masih saja bermain
kejar-kejaran. Benny dan Ucup juga masih mengusili Mitha dengan melemparkan
telur dan tepung ke arah Mitha. Hingga mata Mitha terhenti pada satu titik.
Nafas Mitha terhenti sejenak.
Lalu kemudian pandangannya buram tertutup oleh sesuatu yang basah dan agak
panas. Air mata. Ia benci harus melihat pemandangan itu. Ia tak sanggup melihat
Axel mencium Sofi.
Mitha berhasil menemukan
kesadarannya beberapa detik kemudian dan berlari menuju tasnya.
“Kamu nangis?,” tanya Nana
pada Mitha. Tian langsung menoleh dari kejauhan. Ternyata dengan wajah tertutup
tepung, Mitha tetap tak bisa menyembunyikan air matanya.
“Engga, tadi mata kena
tepung makanya perih,” jawab Mitha bohong.
“Aku ganti baju dulu ya,”
lanjutnya sebelum Nana menyerbunya dengan beribu pertanyaan lain, karena suara
Mitha berubah karena hidungnya sudah buntu.
“Kakak anter,” Tian muncul
lalu menggenggam tangan Mitha. Rupanya Ia langsung khawatir dan berdiri
menghampiri Nana dan Mitha.
Mereka berjalan menuju
toilet yang lumayan jauh dalam diam. Tian tak tahan dan akhirnya menghentikan
langkahnya di tempat yang sepi.
“Kamu kenapa, dik?,”
tanyanya.
“Gak kenapa-kenapa, kak,”
jawab Mitha.
Tian memegang kedua bahu
Mitha, “Liat kakak. Yakin kamu gak apa-apa?,” tanyanya sekali lagi.
Kali ini Mitha tak
menjawab. Mitha tetap menunduk. Tak berani menatap mata Tian. Kemudian
tangisnya pecah. Tian terkejut dan tak tahu harus berkata apa. Mau bertanya pun
juga akan sia-sia. Tian merengkuh tubuh mungil Mitha.
“Gak apa-apa,” ucap Tian
lirih sambil mengelus lembut punggung Mitha. Tangis Mitha semakin keras. Tian
tak mampu melihatnya. Ia merasa gagal melindungi Mitha. Dan ada satu pertanyaan
penting dibenaknya, “Siapa yang ditangisi Mitha?”
…
Mitha merebahkan tubuhnya
di kasur. Tugas laporan yang menumpuk membuat otaknya penat. Ia ingin tertidur
sejenak. Namun baru saja Ia menutup matanya, handphone-nya berdering. Tertulis
di layar, “Axel”
Mitha galau. Mengingat
kejadian minggu lalu di hari ulang tahunnya, rasanya sakit sekali. Tetapi tetap
saja diterima panggilan itu.
“Halo,” sapa Mitha.
“Dik, lagi di kos?,”
“Iya,”
“Ok,” telepon terputus.
Itu saja? Pikir Mitha. Lagi-lagi Ia kesal. Direbahkan lagi tubuhnya di kasur.
Tak lama, Mitha tertidur.
Sekitar sepuluh menit
berlalu tanpa gangguan, pintu kamar Mitha diketuk oleh seseorang. Mitha
mengerang pelan dan menutup telinganya dengan guling. Namun ketukan itu tak
berhenti.
Dengan sedikit kesal,
Mitha loncat dari kasur dan membuka pintu dengan agak kasar. Nampak Axel dengan
senyum tipis namun lesung di pipinya tetap terlihat.
Seketika emosi itu runtuh.
Mitha merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya dan memaksa Mitha
untuk mengeluarkannya, rindu. Ya, Mitha rindu dengan bocah berwajah playboy
ini. Sakit hatinya menguap begitu saja saat melihat senyum Axel.
“Maaf ganggu, dik. Kakak
lagi pusing. Boleh masuk?,” tanya Axel.
“Ngga apa-apa. Silakan
masuk,” balas Mitha.
Axel masuk ke dalam kamar
dan langsung duduk bersandar di pinggir kasur Mitha. Mitha menyiapkan teh
hangat dan kue-kue yang ada di kulkasnya.
“Kakak kenapa lagi?,”
tanya Mitha lembut setelah duduk di samping Axel.
Axel menghela nafas
panjang, “Berantem lagi sama Sofi”.
Teringat lagi kejadian di
pantai Kuta, hati Mitha kembali sakit. Namun, Ia buang jauh rasa itu. Kali ini
Axel sedang perlu teman dan Mitha merasa Ia tak boleh egois.
“Kenapa kakak bertahan
kalo sering berantem?,” pertanyaan Mitha meluncur begitu saja dari bibirnya.
“Kakak sayang sekali sama Sofi.
Tapi Dia sering gak ngertiin kakak. Capek, tapi gak rela,” jawab Axel. Mitha
terdiam, tiba-tiba buntu.
Suasana menggantung. Mitha
dan Axel sama-sama melamun, pikiran mereka melayang dengan jalannya
masing-masing, namun pada objek yang sama, Sofi.
Kepala Axel bersandar di
pundak Mitha. Nafas Mitha tertahan sejenak. Tubuhnya menegang.
“Santai aja. Kakak ga
bakal ngapa-ngapain kok,” ucap Axel sambil tersenyum.
Kemudian tak ada suara
lagi. Mitha mencoba menoleh dan ternyata Axel sudah tertidur pulas. Dengan
sedikit gugup, Mitha memberanikan diri untuk membelai rambut Axel, kemudian
mengelus pipi lelaki jangkung ini.
Ada rasa bahagia yang
belum pernah Mitha rasakan saat bersama Axel seperti saat ini. Ia ingin waktu
terhenti sejenak saja. Axel, andaikan kakak milikku, lirihnya.
Malamnya, Axel mengajak
Mitha makan malam, mereka pergi ke rumah makan tempat mereka makan siang dulu
dan duduk di meja dekat jendela kaca.
“Kakak yang traktir. Kan
kamu udah nemenin kakak seharian. Ayo makan,” ujar Axel. Mereka makan dengan
lahapnya.
“Dik, coba makan spageti
kakak. Dijamin deh mantep!,” ucap Axel di sela-sela makannya lalu menyendokkan
spageti untuk disuapi kepada Mitha.
“Aku bisa ambil sendiri,
kak,” jawab Mitha. Namun Axel tetap memaksa. Akhirnya Mitha mau disuapi Axel.
Acara makan malam mereka berlanjut seru, dengan tawa renyah khas Axel yang
sering meledak seperti biasanya.
Mereka tak sadar, kalau
dari kejauhan ada yang memperhatikan. Sofi. Tadi Ia berniat membeli kue di
supermaket di sebelah rumah makan. Tak sengaja melihat Mitha dan Axel saat
lewat di depan sana.
Sofi bisa melihat
keakraban mereka. Sofi bisa mengerti betapa kesalnya Axel padanya. Ia sudah
biasa melihat kelakuan pacarnya yang kekanak-kanakan. Ia juga terbiasa melihat
Axel bermain dengan cewek lain untuk memanas-manasinya, sama seperti sekarang.
Tapi kali ini Sofi tak akan membiarkan hal ini terus berlarut-larut. Karena
Sofi bisa melihat pancaran mata suka Mitha yang sudah Ia anggap sebagai adiknya
sendiri.
…
“Tumben ngajak aku makan.
Dalam rangka apa nih?,” sapa Tian saat tiba di meja kafe tempat Sofi
mengajaknya janjian.
“Gak kenapa-kenapa sih.
Aku Cuma pengen kepo sama kamu sekarang ini,” jawab Sofi.
“Tumben, ada apa?,” tanya
Tian saat memesan salah satu menu.
“Kamu suka Mitha kan?,”
Tian terkejut, “Eh? Kenapa
nanya gitu?,”
“Udahlah aku udah tahu.
Santai aja lah,”
Tian menunduk malu.
“Sebagai teman yang baik,
aku saranin kamu harus lebih agresif ngejer Mitha, ato langsung tembak aja,”
celoteh Sofi.
“Hah?! Mana bisa kayak
gitu? Kamu tau kan aku bukan tipe cowok gitu. Aneh-aneh aja. Ada apa sih?,”
Tian curiga.
“Aku bingung mau cerita
dari mana. Yang pasti, kamu harus cepet-cepet ambil hatinya Mitha kalau kamu
serius, sebelum perhatiannya diambil beneran sama orang lain. Aku gak rela,
Tian,” jelas Sofi.
Tian makin bingung,
“Siapa?”
“Axel”
“Maksudmu, kamu gak rela
kalau Mitha ambil Axel? Itu kan hak hati mereka. Aku atau kamu gak bisa maksain
donk. Jangan ambil bahagianya orang,” jawab Tian kesal.
“Hei.. hei.. jangan emosi.
Ayolah, kita sama-sama dewasa, kita bisa mikir secara luas. Maksudku, emm,
gini. Kamu tau sifat Axel kan? Aku sering cerita sama kamu. Sekarang ini, Axel
lagi sering kesel sama aku. Dan kalau kita berantem, Dia pasti ke Mitha. Mitha
masih polos. Dia gak tau apa-apa, Tian. Aku takut Mitha terlalu jauh berharap
kayak cewek-cewek yang pernah dideketin Axel. Aku sayang Mitha,” ucap Mitha
panjang lebar.
Obrolan mereka terhenti
sejenak karena pelayan kafe membawakan minuman mereka. Sofi meneguk jus
jeruknya.
“Kamu tau darimana Mitha
suka Axel?,” tanya Tian sedikit lemas.
“Aku bisa lihat sorot
matanya waktu sama Axel. Dia ga pinter nyembunyiin perasaan. Harusnya kamu
peka, Tian,”
“Ok ntar aku pikirin cara
terbaiknya,” jawab Tian. Moccacino di depannya tak lagi terlihat nikmat. Malah
terasa hambar di lidahnya. Lagi-lagi Tian merasa gagal melindungi gadis yang Ia
sukai. Mitha tak boleh jatuh cinta pada bocah ingusan itu, bathinnya.
…
Hari sudah sore. Axel kini
sedang tidur pulas di pangkuan Mitha. Bertengkar lagi dengan Sofi. Mitha tak
pernah keberatan jika Axel sering datang. Dua minggu terakhir, mungkin sudah
lima kali Axel datang. Alasannya selalu sama, bertengkar dengan Sofi dan perlu
teman.
Entah hal apa yang
merasukinya hingga Mitha tak sadar kalau perasaan cintanya hanya dianggap teman
oleh Axel. Mitha awalnya berkomitmen untuk tidak berharap pada Axel yang sudah
memiliki Sofi. Namun Axel selalu membawa cahaya harapan setelah muncul di depan
Mitha.
“Tidurnya kakak lama ya?,”
ucap Axel terbangun dan duduk.
“Lumayan,”
“Astaga! Sekarang jam
berapa?,” Axel terlihat bingung.
“Jam lima kak,” jawab
Mitha.
“Kakak harus pulang nih.
Papa pulang dari Surabaya, nyampe rumah jam 6. Makasi ya, Mitha. Kakak pulang
dulu. Maaf ngerepotin,”
Axel berlalu begitu saja
dan Mitha hanya diam. Rasa sayangnya mengalahkan rasa sakitnya. Berkali-kali Ia
mencoba lupakan, namun selalu gagal. Malah rasa sayang itu semakin besar.
Lamunannya buyar saat Tian
tiba-tiba muncul di depan kamarnya.
“Kita harus ngomong,” ucap
Tian tegas.
“Ngomong apa, kak?,” tanya
Mitha.
Tian mengambil kursi
belajar Mitha dan duduk di depan Mitha yang duduk di kasur.
“Kamu tau kalau ini sudah
berlebihan?,” tanya Tian.
Mitha nampak bingung,
“Apanya?”
“Kamu tau kan, kalau Axel
udah punya Sofi?,”
“Oh, itu. Dia Cuma curhat
aja sama aku,”
“Tapi kamu ngarep kan?,”
“Kakak apa-apaan sih?,”
tanya Mitha balik.
“Gini, kamu belum tau
sifat Axel. Kamu sadar gak kalau Dia cuma dateng pas lagi butuh aja? Apa pernah
Dia inget kamu waktu lagi seneng?,” Tian mencoba sabar.
“Udahlah, kak. Kakak gak
tau kalo orang yang bikin Kak Sofi sama Kak Axel berantem itu kakak!,” Mitha
mulai emosi.
“Kakak tau itu. Kakak diem
karena Axel yang gak dewasa. Sukanya cemburu buta. Itu udah biasa, dik. Kakak
gak mau kamu sakit hati terus-terusan apalagi berharap...”
“Kenapa? Kakak cemburu?
Aku sayang Kak Axel tanpa harus dibales kok. Yang penting Dia ada di samping
aku aja itu udah cukup. Kakak gak usah ikut campur!,” potong Mitha emosi disertai
air mata yang sudah membasahi pipinya.
Tian tak bisa lagi
mengontrol emosinya. Ia paling benci jika perhatian yang Ia beri malah dicampakkan.
Apalagi kata-kata “Gak usa ikut campur”.
“Kakak gak tau ya, kamu
pake otak atau gak. Kamu sadar gak kalo posisimu sekarang gak ada bedanya sama
selingkuhan? Masalah tulus, tulus kalo gak pake logika itu sama aja bodoh,”
ucap Tian dengan penuh penekanan karena emosi. Lalu Ia berdiri dan berjalan
keluar.
“Oh iya, satu lagi. Iya,
kakak emang cemburu. Karena kakak sayang sama kamu,” lanjutnya di depan pintu.
Ia menutup pintu kamar Mitha dan pergi.
Kini Mitha berada di
posisi paling bawah. Harus diakuinya, semua kata-kata Tian benar adanya. Ia
terus menangis menyesali semuanya. Bodohnya Ia, sampai Ia tak sadar kalau Tian
menyayanginya.
…
Sudah seminggu waktu
berlalu. Mitha tak pernah berkumpul dengan teman-temannya entah di kampus
ataupun di gereja. Ia lebih sering mengurung diri di kamarnya, merasa
kehilangan, entah apa itu.
Mitha sedang tidur di
kasur saat Axel kembali mengetuk pintu kamarnya. Mitha masih merasa terhina
sekali. Ia mengingat lagi betapa Axel membuatnya terbang padahal Mitha hanyalah
tempat persinggahan. Mitha juga tak bisa lupa dengan rasa sakit yang selama ini
Ia pungkiri saat Axel melupakannya ketika Axel rukun dengan Sofi.
“Aku lagi tidur Kak,”
teriak Mitha dari dalam.
Pintu terbuka. Sial! Aku
lupa menguncinya, jerit Mitha dalam hati. Mitha menutup seluruh tubuhnya dengan
selimut.
“Kamu ngga apa-apa, dik?,”
tanya Axel sambil menengok ke kasur.
“Ngga apa-apa,” jawab
Mitha menahan tangis.
“Maaf kakak dateng lagi,”
ujar Axel.
“Iya gak apa-apa kok.
Kakak lagi berantem sama Kak Sofi kan? Kakak tenangin aja pikiran kakak. Aku
selalu ada buat jadi pilihan kedua kok, kayak biasanya,” rintih Mitha.
“Maksudmu apa, dik?,”
tanya Axel lagi.
Mitha mengambil posisi
duduk dan matanya sudah sembab.
“Kakak dateng ke aku waktu
lagi berantem sama Kak Sofi. Waktu kakak lagi rukun, gak sedikitpun kakak inget
aku. Sebenernya gak masalah. Cuma kakak gak pernah perhatiin sakit hatinya aku.
Kakak gak pernah mau tau perasaan sayang aku ke kakak. Padahal Kak Axel terlalu
ngasi harapan aku,” jelas Mitha panjang lebar.
Axel tertegun.
“Ini udah terlalu jauh,
kak. Kakak harus belajar dewasa. Kakak gak ngerti sakitnya aku. Ya, emang aku
yang bodoh. Sekarang cukup, kak. Aku gak mau jadi pilihan, toh aku juga bukan
siapa-siapa. Kasian Kak Sofi. Padahal kakak udah beruntung dapetin Dia. Kakak
intropeksi diri ya, maaf, aku gak bermaksud sok bijak,” lanjut Mitha lalu
berdiri dan memakai jaketnya.
“Kamu mau ke mana, dik?,”
tanya Axel. Hanya itu yang mampu Ia tanyakan.
“Aku harus berhenti
bermain sama bayang-bayang. Aku mau nyari Kak Tian, karena Dia nyata, bukan
bayangan semu kayak kakak,” jawab Mitha lalu berjalan ke luar.
“Oh iya, teh hangat kakak
ada di meja belajar, kue-kue juga ada di kulkas. Silakan tenangin diri. Tapi
maaf, aku gak bisa temenin lagi,” pamitnya di depan pintu.
“Maaf merepotkan,” rintih
Axel menunduk.
“Iya, lain kali jangan
ulangi,” jawab Mitha sama seperti ucapan Axel dulu lalu pergi.
…………………………………………………
28 Oktober 2013. Dari
hati, dengan letupan rindu untuk Bali ♥