Sabtu, 30 Desember 2017

RANDOM THOUGHT



Menit demi menit menghilang. Hampir tak ada sia-sia. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Kamu dan aku pun demikian. Tak ada perpisahan, yang ada hanya pemanis di tiap waktunya. Menikmati hari hari bagai anak SMP yang baru pertama kali memiliki teman kencan. Sesekali berusaha meniti apa yang sudah direncanakan dalam bercanda.

Sekilas tak ada yang aneh. Semuanya sempurna. Apa kamu tahu? itu adalah kesalahan. Karena tidak ada sesuatu yang sempurna. Ya, ada noda yang berusaha kusembunyikan. Si kecil yang bisa membesar suatu saat nanti.

Hati ini pernah hancur, sekali, saat boneka masih kuanggap sebagai diriku sendiri. Butuh ruang dan dimensi yang luas untuk ku bisa mengumpulkan tiap kepingan dan membentuknya kembali. Kamu tahu rasanya daging yang terkoyak lalu dijahit? Rasanya mungkin lebih dari itu. Dan, bentuknya tak pernah kembali sempurna, perekatnya pun tak bisa menempel dengan baik, karena aku sangat masih kanak-kanak dan belum tahu apa itu kecewa. Sehingga sangat memungkinkan untuk hancur lagi. Sejak saat itu, benteng dari otak semakin kutinggikan mengikuti jejak usiaku, karena hanya itu yang aku punya. Lemahnya bagianku tersebut syukurnya tak membuat pikiranku ikut layu.

Dan, benteng dalam diriku bisa rubuh juga, karena senyuman dan ketulusanmu. Aku tak ingat kamu datang dari mana, karena yang ada dalam kepalaku saat itu, kamu pasti dari langit. Atau bahkan salah satu dari malaikat baik. Dengan mudah, aku berbagi semuanya. Segala yang ada dalam diriku dari masa lalu dan sekarang. Mempercayakannya padamu. Tanpa kusadari, pikiran singkat seperti itu yang membimbingku dalam kehancuran ini. Karena aku lupa, jauh sebelum kita bertemu, kamu juga manusia yang jauh dari kata sempurna.

Ekspektasiku padamu setinggi bintang, sehingga waktu kamu menjatuhkan harga dirimu oleh masa lalumu, aku pun ikut jatuh di masa kini. Karena kamu sudah terlanjur mendominasi diantara darahku. Tak adilnya, kamu sudah bisa bangun sendiri karena pengalaman membuatmu kuat. Dan aku? Bentengku sudah rubuh. Sudah kukatakan, hati ini masih ringkih, dan tak perlu usaha banyak, sudah kembali hancur karena sisi gelapmu. Walaupun aku tahu kamu tak bermaksud untuk menyakiti, namun luka karena kepingan yang hancur itu tetap saja menganga. Aku tak bisa menemukan ruang dan dimensiku seperti dulu, karena semuanya adalah dirimu, yang bagai lautan entah kemana arah mata angin berhembus membuat gelombang, entah seberapa luasnya aku tak paham, yang selalu membawa mentari datang dan pergi. Sehingga tak memungkinkan untukku menemukan kepingan perasaan. Dan semua terjadi sesingkat sapaan senja.

Ekspektasi terlihat seperti suatu hal kecil, namun kekecewaan karenanya sudah terbenam dalam diriku sekian lama kita bersama. Rasanya semua hanya seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Tinggal menunggu kapan detik yang tak terdeteksi itu habis sehingga melenyapkan apa yang telah kita lalui. Tidak ada yang tersisa, baik kamu maupun perasaanmu, aku maupun kenanganku.

Senjaku kini berbeda, begitu lama waktu kulewati tanpanya. Karena terlalu dalam masuk hingar bingar duniawi. Karena memang sepantasnya demikian. Karena senja telah mengambil segalanya dariku. Karena senja telah membawa pergi hatiku, hingga yang ada hanya kepala tanpa hati.



-random thought-
December 30th 2017

Kamis, 08 Oktober 2015

RINDU DAN DOA


untuk semua yang masih bisa kurasakan darimu, terima kasih. 
Benci dan rindu adalah dua hal yang sangat berbeda namun sama-sama menyakitkan. Apalagi ketika malam-malam begini, rasanya mereka berdua bekerja sama untuk menakut-nakutiku layaknya anak kecil yang dihantui oleh monster pada saat mereka tidur. Bahkan mereka memanggil sayang dan cinta untuk menambah insomnia disetiap malam. Ya, terkadang aku sangat heran, karena bukankah sayang, cinta, rindu, dan benci sangat bermusuhan? Namun mengapa mereka menyatu dalam ruang hatiku?
Mereka memakai jarak sebagai alasan mereka menyatu. Jarak yang membuat mereka menjadi buram untuk dibedakan. Ingin kuungkapkan bedanya namun yang ada hanya bungkam. Tak ada yang salah. Tak ada yang benar. Jarak hanyalah kata.
Terkadang aku tak percaya adanya jarak antara aku dan temanku yang satu ini. Karena kita selalu didekatkan oleh doa. Doa yang menjadi mak comblang ketika kedua bibir sama-sama sembunyi. Doa yang seakan-akan memaksa hati untuk menerima perhatian dan ketertarikan menjadi tamu atau bahkan menjadi pemilik tetap di sana. Tak lupa, doa pula yang membuka sumbat otak untuk mau mengakui bahwa ada aliran listrik yang menyengat pada aliran darah saat disentuh oleh nama masing-masing. Bahkan hingga saat ini, doa masih ampuh untuk selalu menyatukan kami di ruang dan waktu yang berbeda. Dan semoga kelak, doa kami, mungkin juga doa kalian, mampu untuk menyatukan kami selamanya. Amin.
Namun di waktu yang tak jarang juga, terkadang aku juga bisa memaki jarak yang tak berdosa. Ini terjadi ketika sayang, cinta, rindu, dan benci memiliki energi penuh untuk mengerjaiku. Mereka semua tampak beringas dan cukup kuat untuk mencairkan kekuatanku menjadi air mata. Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Karena obatku hanyalah tatapan mata dan rengkungan lembut yang saat-saat ini sangat mustahil untuk kugapai.
Dengan perih yang kubawa dalam lipatan tangan, tatapan mata yang tadi kurindukan kututup dalam kedua mataku. Setiap kata yang terasa dan (jarang) mampu terucap menggantikan hangat pelukannya. Saat-saat seperti ini aku dapat mengadukan segala hal, terutama mengadukan rindu yang nakal. Bermanja-manjaan dengan Semesta melalui kata, perasaan, gerakan, atau tangisan. Aku yakin Ia mengerti tiap bahasa dan reaksi tubuhku.
Aku tak peduli jika kesempatan ini menjadi kenangan atau pegangan. Karena setiap kali menambah rasa sayang, selalu kuusahakan ingat untuk menambah kekuatan dikala kehilangan. Karena di semua waktu kencan pasti ada pelajaran. Dan karena aku tahu, perpisahan atau penyatuan kelak juga memiliki tujuan.
Intinya, aku sangat merindukannya saat ini. Segala cara kucoba untuk menghibur diri. Untuk melupakannya. Untuk mengalihkan benciku. Dan rasanya……. Sia-sia. Sayang, doamu terlalu kuat!

Sabtu, 15 Agustus 2015

Salam dari salah satu utusan

Malam semakin merdeka, seperti biasanya. Merebahkan matahari dan segala makhluk yang terus bergerak sepanjang waktu. Tak senikmat biasanya. Bahkan senja pun tak kusapa. Yah, kehampaan bocah menjelang dunia fana mulai merasuki tiap aliran darah. Tak ada cinta. Tak ada benci. Tak ada amarah. Tak ada tangis. Kosong.

Otak sudah muak untuk dipaksa merasakan dan hati sangat lelah untuk berpikir. Benar. Kadang sebodoh itu. Tak tahu fungsi saat mata bosan mendengar kelicikan dan telinga bosan melihat kemunafikan planet yang dinamakan realita ini.

Rasanya terlalu banyak tanah tempatku mengais-ngais mencari potongan diriku yang masih disembunyikanNya. Mungkin sudah tak punya harga lagi ketika harus mengemis pada tiap energi di planet realita ini, mengemis jawaban dari pertanyaan siapa aku ini? Apa yang aku cari?

Halo, Yang Di Sana! Maaf, utusanMu belum berhasil mencintai utusan-utusanMu yang lain dengan tulus. Parahnya, tulus itu sedang berlari menjauh dari tiap-tiap hati. Ada yang bersembunyi, ada yang terbang. Ada yang sudah mati kah? Tak tahu. Sepertinya mereka takut dengan kecewa, sombong, iri, marah, dan pasukannya.

Bisakah Anda melindungi tulus? Dan biarkan aku mengadopsinya sebagai agenku mencari kepingan hati yang hancur. Hhmm. Aku masih percaya walaupun ia lemah ia masih mampu menyembuhkan hati yang hampir punah.

Baiklah. Tentara bintang semakin berhamburan di langit. Memberi belaian hangat nan beracun untuk terlelap tanpa lupa memuji Yang Mengutusku dan semua di sini. Terima kasih untuk kehampaannya, sehingga Engkau memiliki ruang penuh untuk menuangkan Kasih SayangMu yang mulai kering dalam planetku sendiri. Di hati. Di pikiran sadar. Dan alam bawah sadarku. Semoga nafas boleh terus ada hingga diri terkumpul lengkap dengan persenjataannya.

*Lalu tidur*

Minggu, 18 Januari 2015

RAIN

Siang ini hujan lagi. Bulan Desember memang identik dengan musim hujan. Sama seperti pemikiranku, yang saat ini sedang duduk didekat jendela menikmati hujan diluar sana. Aku merasa ada yang kurang apabila tidak ada rintik-rintik air di akhir tahun seperti ini.

Semenjak hujan pertama di tahun ini, aku lebih sering menghabiskan waktu dikamar demi melihat hujan daripada melakukan aktivitas lainnya. Bahkan aku malas untuk menemui wanita yang akhir-akhir ini mengaku sebagai temanku, Dara. Aku sedang kesal padanya.            

Aku ingat, kemarin aku hendak keluar untuk bermain hujan karena aku sangat menyukainya. Papa mama tahu aku sangat senang bermain hujan. Begitu juga kak Po. Harusnya Dara juga tahu kalau aku menyukainya. Namun Ia melarangku. Bahkan dengan teganya menghempaskan tubuhku ke kasur. Tunggu. Hanya itu yang kuingat.            

“Makan siang sayang?,” suara mama terdengar dari ujung pintu kamar.            

Aku menggeleng.            

“Mama tunggu di ruang makan ya,”            

Aku hanya menoleh ke arahnya lalu tersenyum mungil sebelum Ia benar-benar meninggalkanku di kamar dan melanjutkan lamunanku.            

Aku sedang menggambar seorang gadis di kaca jendela yang berembun sampai tiba-tiba aku melihat gadis kecil berusia sekitar 10 tahun dengan rambut panjang yang dikepang dua di luar sana. Ia menggunakan jas hujan berwarna pink dengan payung biru kecil yang tidak melindungi kepalanya dari serangan air itu. Payungnya sangat mirip dengan payungku sewaktu kecil. Berwarna biru dan memiliki renda-renda sebagai hiasannya.            

Gadis itu menari-nari bak penari balet professional dengan sesekali mengangkat payungnya ke udara sambil melompat. Aku suka menari. Gadis ini membuatku senang. Aku ikut tersenyum. Tak sadar, aku tertawa kecil. Namun aku juga mendengar tawa gadis itu. Mungkin aku salah mendengar. Aku diam. Lalu mencoba tertawa lagi untuk meyakini aku tidak salah. Lagi-lagi kudengar suara tawa gadis di luar sana.            

Bingung. Kuperhatikan gerak-gerik gadis yang tidak bisa diam itu. Lekuk tubuh dan senyum serta pancaran matanya tak asing diingatanku. Kucoba mengingat-ingat hingga sakit kepala dan kupukul-pukul kepala dengan kepalan tangan kananku.            

Gadis payung menoleh ke arahku dan tersenyum lebar lengkap dengan lesung dikedua pipinya. Hey! Itu aku. Iya, aku yakin sekali gadis itu adalah sosokku waktu kecil. Ia melanjutkan tariannya di tengah hujan.

Seketika aku mengingat kejadian ini di waktu lampau. Aku memenagkan lomba menari balet nasional. Saat itu musim hujan di awal bulan Januari. Mama dan papa sangat senang sekali. Bahkan kak Po menghadiahkan aku sepatu balet dan sepeda baru. Mulai saat itu, aku bermimpi untuk terus menari sepanjang hidupku. Aku tidak bisa melupakan gerakan-gerakan yang kuperagakan saat mengikuti lomba. Saat hujan tiba, aku bermain di 
halaman rumah seperti yang gadis ini lakukan.

Bahkan sampai sekarang aku masih hafal gerakan-gerakan itu. Melihat gadis itu, aku jadi mulai mengikuti gerakan-gerakan yang Ia lakukan. Sesekali gerakannya salah atau terpeleset karena tanah yang licin. Dan aku tertawa melihatnya tanpa menghentikan gerakan yang kulakukan dari sini.

Setelah lumayan lama menari diantara hujan, tiba-tiba gadis ini berhenti menari. Sepertinya aku tahu apa yang hendak dilakukannya. Aku memasang posisi waspada dan tegang.

Benar! Iya mengambil sepedanya di garasi. Aku tahu maksudku saat itu adalah memanggil teman-temanku untuk ikut bermain hujan bersamaku lalu mengajari mereka menari. Aku melihatnya berhasil mengeluarkan sepeda. Aku tak mau melihat kejadian ini. Aku berusaha berlari keluar rumah dengan kaki kiri yang sakit sekali karena kaki palsu sambil berteriak, “Tunggu, jangan pergi! Tunggu!,”.

Lagi-lagi aku berhasil melewati orang tuaku dan kak Po serta Dara di ruang tamu untuk membuka pintu depan. Aku bisa melihat ekspresi mereka yang terkejut lalu ikut berlari.

Aku langsung menuju pagar depan yang berhadapan langsung dengan jalan raya yang selalu ramai untuk menahan gadis itu. Namun seseorang tiba-tiba menahan tangan kiriku di depan pagar lalu memelukku erat sekali sampai aku kesakitan.“Lepasin! Sakit! Nanti anak itu ditabrak mobil! Lepasin!,” rontaku sambil menangis membayangkan gadis payung.

“Rain, tidak ada siapa-siapa. Lupakan kejadian lalu itu. Kamu tetap penari hebat bagi kami apapun keadaanmu sekarang. Ayo sadarlah!,” suara kak Po terdengar keras di telinga kananku. Ia terus memelukku sampai kami tiba di dalam rumah. Seperti biasa, Dara hanya melihatku dari dekat sambil tersenyum, “Kamu tetap yang terbaik, Rain. Kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau. Kamu harus menerima semuanya”.

Tiba-tiba aku merasa semut menggigit lengan kananku dan aku merasa pusing serta lemas. Aku menutup mata dan merebahkan tubuhku di tubuh kak Po. Sayup-sayup kudengar rintihan mama,

“Kecelakaan yang merenggut kaki kirinya itu sudah lewat dua tahun tapi Ia tetap tidak bisa melupakannya. Semakin hari obsesinya semakin besar untuk menjadi penari. Dan hujan kembali membuatnya mengingatnya. Kita harus bagaimana lagi, dokter Dara?,”

Selasa, 08 April 2014

BAYANG-BAYANG SEMU



Sore ini Mitha duduk diam di depan kamar kosnya sambil cemberut melihat derasnya hujan. Ia kesal karena hujan menghalanginya untuk ikut ibadah pemuda pertamanya di gereja. Mitha belum sempat membeli jas hujan saat baru pindah ke Bali untuk kuliah. Ditambah lagi Ia belum mengenal banyak orang di Bali, salah satunya Tian, pemuda gereja yang dikenalnya saat mengikuti festival pemuda Kristen Bali-NTB saat Mitha masih SMA di Lombok dulu.

“Kak Tian, gimana nih? Hujannya deres banget. Tapi aku pengen ikut ibadah,” rengeknya saat menelpon Tian.

“Waduh, gimana ya. Mobil kakak lagi dipake Axel buat belanja konsumsi nih. Oh! Kamu dijemput Axel aja ya? Ok?,” jawab suara di ujung sana.

“Axel itu siapa kak? Aku ga kenal,” ujar Mitha.

“Dia juga pemuda gereja. Tenang aja. Kakak hubungin Dia dulu ya, entar kakak kasitau lagi. Daah,” lalu telepon terputus.

Mitha semakin cemberut. Kali ini hujan terkutuk baginya. Padahal biasanya Ia suka hujan. Aroma air dan tanah yang bercampur membuatnya merasa nyaman. Namun tidak pada sore ini. Mitha malah gelisah tak karuan. Tak lama, BBM dari Tian masuk,

“Axel uda otw. Tunggu depan kos ya, dik. Mobilnya karimun merah”

Gadis berambut panjang bergelombang itu hanya menjawab iya, kemudian berjalan ke depan pagar menggunakan payung. Ia berdiri di antara hujan dan kembali tersenyum.

Tak lama, mobil karimun merah berhenti di depannya. Seseorang yang bernama Axel itu membukakan pintu depan dari dalam. Mitha masuk dan tersenyum kaku. “Gila, cakep bener ni orang,” pikirnya.

“Mitha?,” panggil Axel dengan nada datar. Mitha menoleh.

“Uda berapa lama tinggal di Bali?,” tanyanya.

“Baru sekitar dua minggu,” jawab Mitha malu-malu.

“Ohh,” balas Axel gantung. Lalu mereka terdiam. Jantung Mitha berdebar-debar, sedangkan Axel memfokuskan pikiran dan matanya ke depan, sedikit gugup karena hanya berdua dengan seorang gadis yang belum dikenalnya dalam mobil.

Sesampainya di gereja, mereka turun dari mobil dan berjalan bersama di bawah satu payung yang dibawa Mitha dari kos tadi.

“Thanks, maaf merepotkan,” ujar Mitha sambil berjalan.

“Iya, lain kali jangan ulangi,” jawab Axel dingin. Hati Mitha seperti ditusuk jarum berkali-kali.

Mitha masih terdiam memikirkan kata-kata Axel hingga ibadah dimulai. Hanya berbincang sesekali saat diajak bicara dengan Tian yang duduk di sebelahnya.

“Rekan-rekan, kita kedatangan teman baru dari Lombok. Hey, ayo maju, kenalin diri,” ucap cewek yang memimpin di depan saat ibadah selesai. Mitha maju dengan malu-malu.

“Malem, temen-temen. Aku Nona Melody Paramitha, biasa dipanggil Mitha. Di sini aku kuliah psikologi di UNUD, tinggal di kos edelways. Thanks,” oceh MItha sambil terus menebar senyum sampai matanya terhenti pada sosok Axel dan cewek di sebelahnya yang sedang berbincang dengan serunya.

Senyumnya berhenti sejenak, namun Mitha kembali tersenyum saat banyak pertanyaan yang dilontarkan anak-anak pemuda baik yang serius maupun hanya godaan.

“Tempat tanggal lahir donk, biar bisa masuk di file pemuda,” pinta salah satu gadis yang duduk di ujung depan.

“30 September 1995,” jawab Mitha.

Selesai perkenalan diri, para pemuda menyambutnya dengan berjabat tangan. Satu  persatu menyalami Mitha dengan wajah gembira. Tak diduga, Axel dan cewek tadi menyalaminya juga. Mitha spontan tersenyum kaku.

“Sofi, UNUD juga, semester 3, Management,” ujar cewek yang bersama Axel saat menyalami Mitha. Mitha hanya membalasnya dengan senyuman.

“Axel,” ucap Axel di tambah senyumnya dengan lesung dikedua pipinya.

Mitha merasa ada yang aneh, Ia tahu dan sadar tentang itu. Namun Mitha mengelak dan berpikir kalau itu hanya muncul karena Axel memang cowok ganteng dengan lesung pipi. Tak mungkin hanya Mitha yang merasakannya.


“Halo, Mitha? Ikut yuk!,” Tian menelpon Mitha.

“Kemana kak? Lagi males nih,” jawab Mitha ogah-ogahan.

“Ke GWK. Mumpung gak ujan. Lagi bentar kita jemput ya, dik. Siap-siap yang cepet. Bye!,” celoteh Tian lalu menutup telepon seenaknya.

Mitha membuka lemari dengan malas. Mengganti bajunya dengan kaos putih lengan panjang dan celana selutut. Mitha tak bersemangat, kecuali ada…

Axel. “Kira-kita anak itu ikut gak ya?,” bathin Mitha sambil memasukkan empat barang yang penting menurutnya, yaitu dompet, handphone, topi, dan kacamata. Setelah itu Ia menunggu di kamar.

“Mitha.. Mitha..,” panggil seseorang dari luar kamar Mitha.

“Axel! Terima kasih Tuhan!,” girang Mitha. Ia kenal suara cempreng yang khas milik Axel. Sudah sebulan ini, Mitha dan orang-orang gereja memang semakin dekat. Menurut Mitha, Axel adalah cowok cakep nan angkuh, tapi juga konyol.

Mitha keluar kamar dengan buru-buru dan tidak hati-hati sehingga tersandung dan hampir terjatuh, namun Axel dengan sigap menangkap Mitha. Untuk beberapa detik, Mitha berada dalam pelukan Axel.

Tersadar, mereka salah tingkah dan berjalan keluar kos tanpa suara. Wajah mereka pun sama-sama berubah merah. Mitha senyum-senyum sendiri, dan Axel masih gelisah tak karuan.


Sedang asyik-asyiknya bermain kejar-kejaran di antara bongkahan batu besar di GWK, tiba-tiba langit mendung. Padalah hampir setengah hari ini cuaca cerah-cerah saja.

Mitha melihat ke langit. Lalu air entah darimana menetes di matanya. Ia langsung menunduk dan mengucek matanya. Leon dan Axel yang tak jauh dari Mitha langsung mendekat.

“Kelilipan?,” tanya Leon. Mitha menggeleng.

“Cuma ketetesan air aja kok,” jawab Mitha sambil mengedip-kedipkan matanya.

“Tetesan air?,” tanya Axel lalu saling tatap denga Leon. Sepertinya pikiran mereka sama, “Akan turun hujan”

Benar saja. Tiba-tiba hujan dengan derasnya mengguyur GWK. Leon sudah menghilang entah kemana dengan yang lain, sedangkan Axel dengan Mitha masih mencari tempat untuk berteduh. Axel melihat satu pohon kosong.

“Ayo kita ke sana aja, dik,” ajaknya sambil menggandeng tangan Mitha. Mereka berlari menuju pohon yang lumayan jauh dari tempat mereka.

Axel melihat Mitha basah kuyup. Bajunya yang berwarna putih mulai tembus pandang. Ia tak suka melihatnya, jadi Ia lepaskan kemejanya dan memakaikannya pada Mitha.

“Bajumu tipis. Entar kakak dosa hehehe,” goda Axel.

“Ih apaan sih kakak. Jadi takut hahaha,” ujar Mitha.

“Engga apa-apa. Kamu aman sama kakak, dik,” jawab Axel sambil mengacak rambut Mitha. Mitha jadi tersipu malu.

“Lho, kak Sofi mana? Kok ga keliatan?,” tanya Mitha.

Axel terdiam.

“Biarin aja Dia. Dia udah aman kok,” jawab Axel.

Giliran Mitha yang bungkam. Menyesal bertanya hal itu.

“Coba deh kamu liat itu. Siapa yang gak kesel? Dari tadi pagi malah. Seru banget,” celoteh Axel sambil menunjuk ke arah kafe yang di dalamnya ada Sofi dan Tian.

“Mereka Cuma temenan kak,” jawab Mitha.

“Temen ya ada batasnya juga kan,” balas Axel lagi.

Rasanya Mitha ingin menangis saja. Axel berkata demikian, apa Dia juga tak sadar kalau posisinya sekarang juga sama seperti Sofi? Mitha merasa Dia juga pengkhianat.

“Apa bedanya Kak Sofi sama Kak Axel? Sama aja kan situasinya sekarang,” ujar Mitha lirih.

“Dia sih yang mulai. Jangan samain sama kakak lah. Kakak Cuma bales apa yang Dia lakuin aja,” jawab Axel.

Hati Mitha semakin nyeri, “Berarti aku Cuma jadi objek figuran aja kan?”

Axel tersentak. Sadar kalau Ia sudah salah bicara pada bocah ini. Ia merasa bersalah dan tak tahu harus bicara apa.

“Bukannya gitu, dik,” jawab Axel agak bingung.

“Trus apa? Kakak tadi bilang mau bales kan? Aku baru di sini kak, aku gak mau cari masalah, apalagi sama orang gereja, aku…..,” ucapan Mitha terhenti karena Axel sudah mendekapnya. Mitha tak sanggup menahan emosinya. Hatinya yang keras seakan-akan mampu diluluhkan oleh Axel dan mencair berwujud air mata. Ia sakit karena Axel hanya menganggapnya pelarian, bukan cewek yang menyukainya. Mitha tahu ini terlalu cepat, tapi ini juga berlebihan! Ia tak mampu memungkiri lagi kalau Ia benar-benar menyukai Axel.

Axel kehabisan kata-kata untuk meminta maaf, sehingga satu-satunya cara hanyalah memeluk gadis polos ini.


Jam menunjukkan pukul dua siang. Waktunya pulang kuliah untuk mahasiswa UNUD. Mitha berjalan keluar kampus. Ia tak perlu menggunakan motornya karena kosnya berada di dekat sana.

Sebuah mobil berhenti di sebelahnya. Kaca mobil turun dan nampak Axel dengan senyumnya. Seketika senyum Mitha mengembang.

“Hai, Nona. Mau bareng?,” sapanya.

“Kosku kan deket dari sini, kak,” jawab Mitha.

“Maksudnya barengan makan siang. Temenin kakak ya,” ajak Axel. Mitha mengangguk lalu membuka pintu belakang mobil.

“Eh, kenapa di belakang? Entar kakak dikirain supir. Duduk didepan dik,” ujar Axel.

Mereka menuju rumah makan di sekitar sana. Di sana mereka membicarakan banyak hal dan terkadang kekonyolan Axel memecahkan tawa keduanya.

“Kakak tadi dari mana?,” tanya Mitha.

“Dari rumah. Cuma lagi pusing aja makanya keluar. Di jalan ternyata ketemu kamu,” jawabnya.

“Pusing kenapa kak?,”

“Lagi berantem sama Sofi,”

“Again?,”

Axel hanya mengangguk. Suasana menggantung sejenak, lalu Axel kembali tersenyum.

“Udah, gak apa-apa. Santai, kita kan mau makan, bukan curhat hahaha,” jawab Axel.

Mitha juga ikut tersenyum. Bodohnya Kak Sofi menyia-nyiakan keberuntungan yang Ia dapat, Mitha membathin.


Handphone Mitha berdering. Padahal hari sudah kelewat larut sekali. Mitha menggerutu. Ia meraba-raba meja di sebelah kasurnya dan menekan tombol.

“Halo?,” sapanya berat.

“Selamat ulang tahun, Axel ucapkan. Selamat panjang umur, Tuhan kan berkati. Selamat ulang tahun ya, dik,” terdengar suara di ujung sana bernyanyi dengan nada tak karuan.

“Makasi, kak,” jawab Mitha yang langsung duduk dan tanpa diminta, air matanya sudah menetes.

“Sama-sama dik. Kadonya nyusul ya,”

“Gak usah kado-kadoan, kak. Uda gede. Malu,” jawab Mitha.

Tawa renyah Axel terdengar. Mitha tak menduga kalau Axel ingat hari ulang tahunnya padahal Mitha hanya mengucapkannya sekali pada orang-orang gereja.

Saat telepon ditutup, seseorang mengetuk pintu kamar Mitha. Apa Axel? Harapnya. Mitha membuka pintunya.

“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday, happy birthday Mitha,”

Tian dan Sofi muncul di depan pintu dengan kue tart serta lilin yang menyala. Mitha tersenyum walaupun sebenarnya Ia heran. Baru saja pacarnya menghubungi Mitha dan kini Sofi malah bersama orang lain. Tapi Mitha buang jauh-jauh rasa ingin tahunya akan hubungan Axel dan Sofi.

Mitha menutup matanya untuk make a wish lalu meniup lilin. Tian memeluk dan mengecup kening Mitha, “Tuhan berkati, adikku”

Sofi agak terkejut dengan perlakuan Tian terhadap Mitha. Ia sangat kenal dengan sahabatnya satu ini. Sofi hanya tersenyum simpul.

“Maaf ya gak ada apa-apa. Masih tengah malem soalnya. Besok aja jalan-jalan sama makan-makannya. Kita ke pantai ya,” celoteh Mitha.

“Karena ini hari spesial Nona Melody Paramitha, oke kita pergi deh. Besok kan hari Minggu. Kita perginya pas puulang gereja ta,” jawab Sofi. Mitha langsung memeluk Sofi.

“Makasi kak. Besok ajakin anak-anak lain ya,” ujar Mitha.

Tian dan Sofi mengacungkan jempol. Tak lama, mereka pamit pulang. Ternyata mereka sudah kongkalikong dengan ibu kos Mitha untuk bertamu malam-malam.

Tian puas, merasa rencananya untuk menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat pada Mitha berhasil. Sepanjang perjalanan Ia tersenyum bangga. Kalau saja Ia tahu, kalau bukanlah Dia yang pertama.


“Udah lengkap semuanya nih?,” tanya Sofi. Beberapa pemuda-pemudi yang dekat dengan MItha ikut pergi ke pantai Kuta.

“Oke, peraturannya, gak ada cewek yang bawa motor. Kebetulan Axel sama Tian lagi gak bawa mobil, jadi entar naik motor. Nana sama Benny, Rasti sama Ucup, Winda sama Edi, Mitha sama Tian, Aku sama Axel. Ayo kita berangkat,” ucap Sofi panjang. Sebenarnya Sofi sengaja meminta Axel dan Tian tak memakai mobilnya supaya Tian dan Mitha bisa berdua.

Ada rasa sakit yang mengganjal di benak Mitha. Namun Mitha segera menarik nafas panjang. Ia harus ingat kalau Ia bukan siapa-siapa.

Di perjalanan, mereka semua bercanda. Tian sedikit gugup, sedangkan Mitha sering mencuri pandang ke arah Axel dan Sofi. Mereka berdua tampak serasi. Wajah dewasa Sofi seolah-olah menutupi wajah nakal Axel.

Hari ini memang hoki mereka. Pantai Kuta tidak seramai biasanya sehingga mereka bisa leluasa bermain. Mitha diangkat Ucup dan diceburkan ke pantai. Mereka juga bermain beberapa permainan. Tawa kawan-kawannya membuat Mitha melupakan galaunya.

Saat sore menjelang, anak-anak lain sibuk membakar ikan. Mitha sedang asyik duduk di pinggir pantai. Hari ini Axel sama sekali tak menghiraukannya. Mungkin keasyikan pacaran dengan Sofi. Mitha tak berhak marah. Ia hanya melihat dari kejauhan saja.

“Ngapain sendirian, Nona?,” Tian membuyarkan lamunan Mitha.

“Gak kenapa-napa. Cuma agak capek aja. Aku gak dikasi bantu bakar ikan juga,” jawab Mitha.

“Iyalah. Masa yang ulang tahun yang repot haha,” balas Tian. Mitha hanya tersenyum.

Jantung Tian berdebar-debar, “Btw, udah tiga bulan di Bali, kamu gak naksir siapa kek gitu di sini?,”

Pertanyaan Tian memeras hati Mitha. Ia tersenyum simpul, “Belom mikir ke sana kak. Masih adaptasi soalnya. Hafal jalan di Denpasar aja belom bisa, gimana mau mikirin naksir-naksiran?,”

Tawa Tian pecah. Ia berpikir betapa polosnya Mitha ini. Bahkan Mitha tak sadar kalau Tian naksir Mitha seiring berjalannya waktu.

“Iya sih, semua perlu proses. Kakak juga udah lewatin proses itu lho,”

Mitha menoleh, ”Proses kayak apa ni kak?,”

“Ya proses naksir-naksiran hahaha. Kamu tau gak kalau kakak tu sayang…..,”

“Happy birthday Mitha!,” Benny menyiram Mitha dengan air dicampur tepung dan telur. Tian dan Mitha sangat terkejut. Suasana kembali ramai karena mereka saling kejar-kejaran dengan Mitha. Mitha yang sudah kotor dan bau pasti memeluk siapapun yang berada di dekatnya.

Tian bersandar di pohon kelapa. Bukan waktu yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Awalnya Ia tak tahu kalau Ia akan menyayangi gadis itu. Namun yang ada, Tian hanya selalu ingin menjaga Mitha.

Mitha masih saja bermain kejar-kejaran. Benny dan Ucup juga masih mengusili Mitha dengan melemparkan telur dan tepung ke arah Mitha. Hingga mata Mitha terhenti pada satu titik.

Nafas Mitha terhenti sejenak. Lalu kemudian pandangannya buram tertutup oleh sesuatu yang basah dan agak panas. Air mata. Ia benci harus melihat pemandangan itu. Ia tak sanggup melihat Axel mencium Sofi.

Mitha berhasil menemukan kesadarannya beberapa detik kemudian dan berlari menuju tasnya.

“Kamu nangis?,” tanya Nana pada Mitha. Tian langsung menoleh dari kejauhan. Ternyata dengan wajah tertutup tepung, Mitha tetap tak bisa menyembunyikan air matanya.

“Engga, tadi mata kena tepung makanya perih,” jawab Mitha bohong.

“Aku ganti baju dulu ya,” lanjutnya sebelum Nana menyerbunya dengan beribu pertanyaan lain, karena suara Mitha berubah karena hidungnya sudah buntu.

“Kakak anter,” Tian muncul lalu menggenggam tangan Mitha. Rupanya Ia langsung khawatir dan berdiri menghampiri Nana dan Mitha.

Mereka berjalan menuju toilet yang lumayan jauh dalam diam. Tian tak tahan dan akhirnya menghentikan langkahnya di tempat yang sepi.

“Kamu kenapa, dik?,” tanyanya.

“Gak kenapa-kenapa, kak,” jawab Mitha.

Tian memegang kedua bahu Mitha, “Liat kakak. Yakin kamu gak apa-apa?,” tanyanya sekali lagi.

Kali ini Mitha tak menjawab. Mitha tetap menunduk. Tak berani menatap mata Tian. Kemudian tangisnya pecah. Tian terkejut dan tak tahu harus berkata apa. Mau bertanya pun juga akan sia-sia. Tian merengkuh tubuh mungil Mitha.

“Gak apa-apa,” ucap Tian lirih sambil mengelus lembut punggung Mitha. Tangis Mitha semakin keras. Tian tak mampu melihatnya. Ia merasa gagal melindungi Mitha. Dan ada satu pertanyaan penting dibenaknya, “Siapa yang ditangisi Mitha?”


Mitha merebahkan tubuhnya di kasur. Tugas laporan yang menumpuk membuat otaknya penat. Ia ingin tertidur sejenak. Namun baru saja Ia menutup matanya, handphone-nya berdering. Tertulis di layar, “Axel”

Mitha galau. Mengingat kejadian minggu lalu di hari ulang tahunnya, rasanya sakit sekali. Tetapi tetap saja diterima panggilan itu.

“Halo,” sapa Mitha.

“Dik, lagi di kos?,”

“Iya,”

“Ok,” telepon terputus. Itu saja? Pikir Mitha. Lagi-lagi Ia kesal. Direbahkan lagi tubuhnya di kasur. Tak lama, Mitha tertidur.

Sekitar sepuluh menit berlalu tanpa gangguan, pintu kamar Mitha diketuk oleh seseorang. Mitha mengerang pelan dan menutup telinganya dengan guling. Namun ketukan itu tak berhenti.

Dengan sedikit kesal, Mitha loncat dari kasur dan membuka pintu dengan agak kasar. Nampak Axel dengan senyum tipis namun lesung di pipinya tetap terlihat.

Seketika emosi itu runtuh. Mitha merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya dan memaksa Mitha untuk mengeluarkannya, rindu. Ya, Mitha rindu dengan bocah berwajah playboy ini. Sakit hatinya menguap begitu saja saat melihat senyum Axel.

“Maaf ganggu, dik. Kakak lagi pusing. Boleh masuk?,” tanya Axel.

“Ngga apa-apa. Silakan masuk,” balas Mitha.

Axel masuk ke dalam kamar dan langsung duduk bersandar di pinggir kasur Mitha. Mitha menyiapkan teh hangat dan kue-kue yang ada di kulkasnya.

“Kakak kenapa lagi?,” tanya Mitha lembut setelah duduk di samping Axel.

Axel menghela nafas panjang, “Berantem lagi sama Sofi”.

Teringat lagi kejadian di pantai Kuta, hati Mitha kembali sakit. Namun, Ia buang jauh rasa itu. Kali ini Axel sedang perlu teman dan Mitha merasa Ia tak boleh egois.

“Kenapa kakak bertahan kalo sering berantem?,” pertanyaan Mitha meluncur begitu saja dari bibirnya.

“Kakak sayang sekali sama Sofi. Tapi Dia sering gak ngertiin kakak. Capek, tapi gak rela,” jawab Axel. Mitha terdiam, tiba-tiba buntu.

Suasana menggantung. Mitha dan Axel sama-sama melamun, pikiran mereka melayang dengan jalannya masing-masing, namun pada objek yang sama, Sofi.

Kepala Axel bersandar di pundak Mitha. Nafas Mitha tertahan sejenak. Tubuhnya menegang.

“Santai aja. Kakak ga bakal ngapa-ngapain kok,” ucap Axel sambil tersenyum.

Kemudian tak ada suara lagi. Mitha mencoba menoleh dan ternyata Axel sudah tertidur pulas. Dengan sedikit gugup, Mitha memberanikan diri untuk membelai rambut Axel, kemudian mengelus pipi lelaki jangkung ini.

Ada rasa bahagia yang belum pernah Mitha rasakan saat bersama Axel seperti saat ini. Ia ingin waktu terhenti sejenak saja. Axel, andaikan kakak milikku, lirihnya.

Malamnya, Axel mengajak Mitha makan malam, mereka pergi ke rumah makan tempat mereka makan siang dulu dan duduk di meja dekat jendela kaca.

“Kakak yang traktir. Kan kamu udah nemenin kakak seharian. Ayo makan,” ujar Axel. Mereka makan dengan lahapnya.

“Dik, coba makan spageti kakak. Dijamin deh mantep!,” ucap Axel di sela-sela makannya lalu menyendokkan spageti untuk disuapi kepada Mitha.

“Aku bisa ambil sendiri, kak,” jawab Mitha. Namun Axel tetap memaksa. Akhirnya Mitha mau disuapi Axel. Acara makan malam mereka berlanjut seru, dengan tawa renyah khas Axel yang sering meledak seperti biasanya.

Mereka tak sadar, kalau dari kejauhan ada yang memperhatikan. Sofi. Tadi Ia berniat membeli kue di supermaket di sebelah rumah makan. Tak sengaja melihat Mitha dan Axel saat lewat di depan sana.

Sofi bisa melihat keakraban mereka. Sofi bisa mengerti betapa kesalnya Axel padanya. Ia sudah biasa melihat kelakuan pacarnya yang kekanak-kanakan. Ia juga terbiasa melihat Axel bermain dengan cewek lain untuk memanas-manasinya, sama seperti sekarang. Tapi kali ini Sofi tak akan membiarkan hal ini terus berlarut-larut. Karena Sofi bisa melihat pancaran mata suka Mitha yang sudah Ia anggap sebagai adiknya sendiri.


“Tumben ngajak aku makan. Dalam rangka apa nih?,” sapa Tian saat tiba di meja kafe tempat Sofi mengajaknya janjian.

“Gak kenapa-kenapa sih. Aku Cuma pengen kepo sama kamu sekarang ini,” jawab Sofi.

“Tumben, ada apa?,” tanya Tian saat memesan salah satu menu.

“Kamu suka Mitha kan?,”

Tian terkejut, “Eh? Kenapa nanya gitu?,”

“Udahlah aku udah tahu. Santai aja lah,”

Tian menunduk malu.

“Sebagai teman yang baik, aku saranin kamu harus lebih agresif ngejer Mitha, ato langsung tembak aja,” celoteh Sofi.

“Hah?! Mana bisa kayak gitu? Kamu tau kan aku bukan tipe cowok gitu. Aneh-aneh aja. Ada apa sih?,” Tian curiga.

“Aku bingung mau cerita dari mana. Yang pasti, kamu harus cepet-cepet ambil hatinya Mitha kalau kamu serius, sebelum perhatiannya diambil beneran sama orang lain. Aku gak rela, Tian,” jelas Sofi.

Tian makin bingung, “Siapa?”

“Axel”

“Maksudmu, kamu gak rela kalau Mitha ambil Axel? Itu kan hak hati mereka. Aku atau kamu gak bisa maksain donk. Jangan ambil bahagianya orang,” jawab Tian kesal.

“Hei.. hei.. jangan emosi. Ayolah, kita sama-sama dewasa, kita bisa mikir secara luas. Maksudku, emm, gini. Kamu tau sifat Axel kan? Aku sering cerita sama kamu. Sekarang ini, Axel lagi sering kesel sama aku. Dan kalau kita berantem, Dia pasti ke Mitha. Mitha masih polos. Dia gak tau apa-apa, Tian. Aku takut Mitha terlalu jauh berharap kayak cewek-cewek yang pernah dideketin Axel. Aku sayang Mitha,” ucap Mitha panjang lebar.

Obrolan mereka terhenti sejenak karena pelayan kafe membawakan minuman mereka. Sofi meneguk jus jeruknya.

“Kamu tau darimana Mitha suka Axel?,” tanya Tian sedikit lemas.

“Aku bisa lihat sorot matanya waktu sama Axel. Dia ga pinter nyembunyiin perasaan. Harusnya kamu peka, Tian,”

“Ok ntar aku pikirin cara terbaiknya,” jawab Tian. Moccacino di depannya tak lagi terlihat nikmat. Malah terasa hambar di lidahnya. Lagi-lagi Tian merasa gagal melindungi gadis yang Ia sukai. Mitha tak boleh jatuh cinta pada bocah ingusan itu, bathinnya.


Hari sudah sore. Axel kini sedang tidur pulas di pangkuan Mitha. Bertengkar lagi dengan Sofi. Mitha tak pernah keberatan jika Axel sering datang. Dua minggu terakhir, mungkin sudah lima kali Axel datang. Alasannya selalu sama, bertengkar dengan Sofi dan perlu teman.

Entah hal apa yang merasukinya hingga Mitha tak sadar kalau perasaan cintanya hanya dianggap teman oleh Axel. Mitha awalnya berkomitmen untuk tidak berharap pada Axel yang sudah memiliki Sofi. Namun Axel selalu membawa cahaya harapan setelah muncul di depan Mitha.

“Tidurnya kakak lama ya?,” ucap Axel terbangun dan duduk.

“Lumayan,”

“Astaga! Sekarang jam berapa?,” Axel terlihat bingung.

“Jam lima kak,” jawab Mitha.

“Kakak harus pulang nih. Papa pulang dari Surabaya, nyampe rumah jam 6. Makasi ya, Mitha. Kakak pulang dulu. Maaf ngerepotin,”

Axel berlalu begitu saja dan Mitha hanya diam. Rasa sayangnya mengalahkan rasa sakitnya. Berkali-kali Ia mencoba lupakan, namun selalu gagal. Malah rasa sayang itu semakin besar.

Lamunannya buyar saat Tian tiba-tiba muncul di depan kamarnya.

“Kita harus ngomong,” ucap Tian tegas.

“Ngomong apa, kak?,” tanya Mitha.

Tian mengambil kursi belajar Mitha dan duduk di depan Mitha yang duduk di kasur.

“Kamu tau kalau ini sudah berlebihan?,” tanya Tian.

Mitha nampak bingung, “Apanya?”

“Kamu tau kan, kalau Axel udah punya Sofi?,”

“Oh, itu. Dia Cuma curhat aja sama aku,”

“Tapi kamu ngarep kan?,”

“Kakak apa-apaan sih?,” tanya Mitha balik.

“Gini, kamu belum tau sifat Axel. Kamu sadar gak kalau Dia cuma dateng pas lagi butuh aja? Apa pernah Dia inget kamu waktu lagi seneng?,” Tian mencoba sabar.

“Udahlah, kak. Kakak gak tau kalo orang yang bikin Kak Sofi sama Kak Axel berantem itu kakak!,” Mitha mulai emosi.

“Kakak tau itu. Kakak diem karena Axel yang gak dewasa. Sukanya cemburu buta. Itu udah biasa, dik. Kakak gak mau kamu sakit hati terus-terusan apalagi berharap...”

“Kenapa? Kakak cemburu? Aku sayang Kak Axel tanpa harus dibales kok. Yang penting Dia ada di samping aku aja itu udah cukup. Kakak gak usah ikut campur!,” potong Mitha emosi disertai air mata yang sudah membasahi pipinya.

Tian tak bisa lagi mengontrol emosinya. Ia paling benci jika perhatian yang Ia beri malah dicampakkan. Apalagi kata-kata “Gak usa ikut campur”.

“Kakak gak tau ya, kamu pake otak atau gak. Kamu sadar gak kalo posisimu sekarang gak ada bedanya sama selingkuhan? Masalah tulus, tulus kalo gak pake logika itu sama aja bodoh,” ucap Tian dengan penuh penekanan karena emosi. Lalu Ia berdiri dan berjalan keluar.

“Oh iya, satu lagi. Iya, kakak emang cemburu. Karena kakak sayang sama kamu,” lanjutnya di depan pintu. Ia menutup pintu kamar Mitha dan pergi.

Kini Mitha berada di posisi paling bawah. Harus diakuinya, semua kata-kata Tian benar adanya. Ia terus menangis menyesali semuanya. Bodohnya Ia, sampai Ia tak sadar kalau Tian menyayanginya.



Sudah seminggu waktu berlalu. Mitha tak pernah berkumpul dengan teman-temannya entah di kampus ataupun di gereja. Ia lebih sering mengurung diri di kamarnya, merasa kehilangan, entah apa itu.

Mitha sedang tidur di kasur saat Axel kembali mengetuk pintu kamarnya. Mitha masih merasa terhina sekali. Ia mengingat lagi betapa Axel membuatnya terbang padahal Mitha hanyalah tempat persinggahan. Mitha juga tak bisa lupa dengan rasa sakit yang selama ini Ia pungkiri saat Axel melupakannya ketika Axel rukun dengan Sofi.

“Aku lagi tidur Kak,” teriak Mitha dari dalam.

Pintu terbuka. Sial! Aku lupa menguncinya, jerit Mitha dalam hati. Mitha menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

“Kamu ngga apa-apa, dik?,” tanya Axel sambil menengok ke kasur.

“Ngga apa-apa,” jawab Mitha menahan tangis.

“Maaf kakak dateng lagi,” ujar Axel.

“Iya gak apa-apa kok. Kakak lagi berantem sama Kak Sofi kan? Kakak tenangin aja pikiran kakak. Aku selalu ada buat jadi pilihan kedua kok, kayak biasanya,” rintih Mitha.

“Maksudmu apa, dik?,” tanya Axel lagi.

Mitha mengambil posisi duduk dan matanya sudah sembab.

“Kakak dateng ke aku waktu lagi berantem sama Kak Sofi. Waktu kakak lagi rukun, gak sedikitpun kakak inget aku. Sebenernya gak masalah. Cuma kakak gak pernah perhatiin sakit hatinya aku. Kakak gak pernah mau tau perasaan sayang aku ke kakak. Padahal Kak Axel terlalu ngasi harapan aku,” jelas Mitha panjang lebar.

Axel tertegun.

“Ini udah terlalu jauh, kak. Kakak harus belajar dewasa. Kakak gak ngerti sakitnya aku. Ya, emang aku yang bodoh. Sekarang cukup, kak. Aku gak mau jadi pilihan, toh aku juga bukan siapa-siapa. Kasian Kak Sofi. Padahal kakak udah beruntung dapetin Dia. Kakak intropeksi diri ya, maaf, aku gak bermaksud sok bijak,” lanjut Mitha lalu berdiri dan memakai jaketnya.

“Kamu mau ke mana, dik?,” tanya Axel. Hanya itu yang mampu Ia tanyakan.

“Aku harus berhenti bermain sama bayang-bayang. Aku mau nyari Kak Tian, karena Dia nyata, bukan bayangan semu kayak kakak,” jawab Mitha lalu berjalan ke luar.

“Oh iya, teh hangat kakak ada di meja belajar, kue-kue juga ada di kulkas. Silakan tenangin diri. Tapi maaf, aku gak bisa temenin lagi,” pamitnya di depan pintu.

“Maaf merepotkan,” rintih Axel menunduk.

“Iya, lain kali jangan ulangi,” jawab Mitha sama seperti ucapan Axel dulu lalu pergi.

…………………………………………………

28 Oktober 2013. Dari hati, dengan letupan rindu untuk Bali